Review Serial: The Crown Season 6



Jakarta, CNN Indonesia —

All’s well that ends well. Still, it defines the Crown. Whate’er the course, the end is the renown.

Petikan kalimat pementasan All’s Well That Ends Well (1623) karya William Shakespeare yang sedikit dimodif Peter Morgan tersebut adalah ungkapan terbaik dalam menggambarkan bagaimana akhir dari serial The Crown.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah babak pertama yang kurang memuaskan bagi saya, Peter Morgan selaku kreator serial ini memberikan deraan emosi yang lembut nan menghanyutkan dalam The Crown Season 6 Part 2.

Morgan dengan sangat cermat mengemas dan memadatkan banyak kisah dalam sejarah keluarga Kerajaan Inggris selama 1998 hingga 2005 dalam enam episode, dan masih mengondisikannya dengan perkembangan terkini.

Bukan cuma dengan cermat, Peter Morgan juga banyak menggunakan metafora dan simbolisme yang sedikit banyak menunjukkan posisi penulis naskah asal Inggris tersebut atas berbagai kemelut keluarga monarki dalam beberapa tahun terakhir.

Beruntung, Morgan mendapatkan lima sutradara yang bisa mewujudkan cerita tersebut ke dalam bentuk sinematik yang indah, mulus, dan anggun khas The Crown, sehingga bisa membayar kekecewaan saya akan 1,5 musim terakhir.




ReviewThe Crown Season 6 Part 2: Peter Morgan dengan sangat cermat mengemas dan memadatkan banyak kisah dalam sejarah keluarga Kerajaan Inggris selama 1998 hingga 2005 dalam enam episode, dan masih mengondisikannya dengan perkembangan terkini. (dok. Netflix)



Selain May el-Toukhy, Erik Richter Strand, Alex Gabassi, Erik Richter Strand, dan Stephen Daldry sebagai sutradara babak kedua ini, Peter Morgan juga dibantu penulis Jonathan Wilson, Daniel Marc Janes, dan Meriel Sheibani-Clare dalam mematangkan naskah.

Keberadaan tiga penulis tambahan itu berdampak signifikan terhadap kualitas cerita babak kedua The Crown 6, bila dibandingkan dengan babak pertama ketika empat episode semuanya digarap tunggal naskahnya oleh Morgan.

Meski begitu, Morgan memang menyimpan hal terbaik sebagai sajian pamungkas. Dalam menulis episode terakhir bertajuk Sleep, Dearie Sleep, Morgan terlihat begitu personal dan tulus dalam menulis adegan penghormatan terhadap Ratu Elizabeth II.

Hal itu bukan hanya mendekatkan penonton dengan karakter keras kepala tersebut ke level yang belum pernah terjadi sejak episode awal The Crown pada 2016 lalu, tetapi juga secara brutal membawa penonton setia serial ini pada arus emosi yang tak pernah ada sebelumnya.

Episode finale tersebut bagai klimaks yang tak memiliki akhir dan melejit lepas ke luar angkasa, meneguhkan posisi Peter Morgan sebagai penulis kisah-kisah drama historikal Inggris terutama Kerajaan Inggris.

Sebagai sosok yang sudah pernah menulis kehidupan Ratu Elizabeth II sebelumnya dalam film The Queen (2006) hingga membuahkan nominasi Academy Awards, Morgan menyediakan cukup waktu dan ruang untuk memberikan penghormatan yang pantas terhadap mendiang.

Dengan memodifikasi latar sejarah Operation London Bridge dan menyesuaikan dengan latar serial, Peter Morgan menulis skenario kematian Ratu secara detail tanpa membebani penonton dengan segudang informasi, serta memperkaya rasa humanis dari sosok Elizabeth II pada saat itu.

Lanjut ke sebelah…

 

[Gambas:Video CNN]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *