Peneliti Akui Temuan Piramid Toba Masih Prematur, Singgung Faktor ‘X’



Jakarta, CNN Indonesia —

Profesor Riset di Pusat Riset Kebencanaan Geologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Danny Hilman Natwidjaja mengakui penemuan struktur bangunan diduga piramid di Danau Toba, Sumatera Utara, masih terlalu dini alias prematur saat ini.

Padahal, seharusnya publikasi itu diperuntukkan sebagai rujukan sehingga dilanjutkan ke tahap penelitian awal.

“Jadi sebetulnya publikasi yang menurut saya prematur di Danau Toba, karena harapannya diteliti dulu baru dipublikasikan ke masyarakat,” kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/10).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kendati demikian, Danny mengaku harus mengungkap ke publik lantaran dia sudah diminta Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk mempresentasikan penemuan piramid itu.

“Kemudian 24 September ada kunjungan [Luhut] ke Toba, ya kan saya jadi enggak ada pilihan, bagaimana ya, saya publikasikan saja. Begitu,” tuturnya.

Dalam kesempatan terpisah, Danny mengungkap temuan Piramid Toba memiliki tinggi hingga 120 meter dan menempel ke bukit Toba tuff yang berumur 74 ribu tahun.

“Bentuknya seperti piramid, meskipun setengah bodi dia menempel ke bukit lapisan Toba tuff (batuan berpori hasil abu vulkanik, red) itu yang umurnya 74 ribu tahun,” tuturnya, pekan lalu.

Danny juga menyinggung kemiripannya dengan Situs Gunung Padang, proyek era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang diklaim berumur sekitar 10 ribu tahun. Mengenai potensi usianya sama dengan batuannya, 74 ribu tahun, Danny mengaku masih meneliti itu.

Namun, Arkeolog senior Truman Simanjuntak mengkritik keras klaim temuan piramida di wilayah Danau Toba itu. Menurutnya penemuan Danny tak mendasar.

“Piramida itu tidak dikenal leluhur kita. Tidak ada budaya leluhur kita yang membentuk piramida seperti di Mesir itu. Tidak ada,” kata Truman.

Di dalam budaya Batak sekali pun, kata Truman yang merupakan kelahiran Pematang Siantar, Sumut, 72 tahun lalu itu, tak ada yang pernah menuliskan keberadaan bangunan berbentuk piramida.

“Di adat Batak pun tidak ada bertuliskan baik di naskah-naskah kuno, tidak ada. Baik itu tulisan-tulisan yang di kulit bambu, di dedaunan pohon, itu tidak ada menyebut piramida,” cetusnya.

“Di dalam adat istiadat Batak pun tidak pernah mendengar piramida,” lanjut peraih Sarwono Award dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2015 ini.

Turman yang juga peneliti di Center for Prehistory and Austronesian Studies itu menyebut tak mungkin satu budaya tiba-tiba mencuat tanpa terkait budaya di sekitarnya.

“Jadi ini perlunya belajar kontekstual lokal maupun regional, arkeologi mikro dan makro. Jadi tidak ada budaya tiba-tiba mencuat di suatu wilayah tanpa ada kaitannya dengan wilayah-wilayah di sekitar temuan,” urainya.

Truman, yang juga mantan peneliti di Arkeologi Nasional (Arkenas) itu, menyebut struktur semacam piramid ini banyak ditemui secara alami.

“Jadi kemudian ada lah di media fotonya, kelihatan ada sedikit dataran itu yang ke atas makin menyempit. Namun bentuk seperti itu apakah kita langsung simpulkan piramida?”

Ia kemudian berhipotesis kalau lokasi itu pada zaman dulu sebagai perkampungan yang punya struktur limas yang “bukan piramida, mungkin saja punden berundak atau pagar batu yang mengelilingi kampung.”

“Kalau melihat dari bentuk umumnya jelas itu bukan piramida, tapi itu jelas megalitik.”

(can/dmi)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *