Jakarta, CNN Indonesia —
Sebuah studi baru menemukan bahwa orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya yang meneriaki, merendahkan, atau mengancam anak-anak secara verbal dapat berdampak buruk terhadap perkembangan mereka seperti kekerasan seksual atau fisik.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Child Abuse & Neglect ini meninjau 166 penelitian sebelumnya untuk menghasilkan analisis terperinci dari literatur yang ada mengenai topik tersebut.
Para penulis menyerukan agar pelecehan verbal pada masa kanak-kanak dianggap sebagai kategori penganiayaan tersendiri untuk memfasilitasi pencegahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penganiayaan terhadap anak saat ini diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu kekerasan fisik, pelecehan seksual, kekerasan emosional, yang mana kekerasan verbal termasuk di dalamnya, dan penelantaran.
Penelitian ini disebut dapat memberikan masukan bagi strategi pencegahan dan pengobatan.
Berbeda dengan bentuk pelecehan emosional lainnya, termasuk ketidakpedulian, perlakuan diam-diam, dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga, para peneliti mengkategorikan pelecehan verbal sebagai tindakan yang lebih “terbuka” dan mengatakan bahwa hal tersebut “memerlukan perhatian khusus.”
Ditugaskan oleh Words Matter, sebuah badan amal Inggris yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan anak-anak dengan mengakhiri pelecehan verbal, penelitian ini dilakukan oleh para peneliti di Wingate University di North Carolina dan University College London.
“Pelecehan verbal pada masa kanak-kanak sangat perlu diakui sebagai subtipe pelecehan karena konsekuensi negatifnya seumur hidup,” kata profesor Shanta Dube, penulis utama studi tersebut dan direktur Program Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Wingate, dalam sebuah pernyataan mengutip CNN.
Penelitian tersebut, yang mempelajari dampak teriakan oleh orang dewasa seperti orang tua, guru, dan pelatih, mengutip beberapa makalah yang menyatakan bahwa efek jangka panjang dari pelecehan verbal pada masa kanak-kanak dapat bermanifestasi sebagai tekanan mental.
Di antaranya depresi dan kemarahan; gejala eksternalisasi, seperti melakukan kejahatan, penggunaan narkoba atau melakukan pelecehan; dan dampak kesehatan fisik, seperti berkembangnya obesitas atau penyakit paru-paru.
Jessica Bondy, pendiri Words Matter, menekankan pentingnya memahami “skala dan dampak sebenarnya dari pelecehan verbal pada masa kanak-kanak.”
“Semua orang dewasa terkadang merasa kewalahan dan mengatakan hal-hal yang tidak disengaja,” katanya dalam sebuah pernyataan.
“Kita harus bekerja sama untuk memikirkan cara-cara mengenali tindakan-tindakan ini dan mengakhiri pelecehan verbal pada masa kanak-kanak yang dilakukan oleh orang dewasa sehingga anak-anak dapat berkembang.”
Studi terbaru ini menemukan bahwa “pergeseran kekerasan pada masa kanak-kanak mungkin terjadi” secara signifikan, karena prevalensi kekerasan emosional pada masa kanak-kanak meningkat sementara kekerasan fisik dan seksual menurun. Hal ini juga seperti temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 dan empat makalah lain yang dikutip dalam laporan studi baru tersebut.
Para peneliti juga menyerukan “perlunya konsistensi” dalam mendefinisikan pelecehan verbal pada masa kanak-kanak sehingga prevalensi dan dampaknya dapat diukur dengan tepat, dan intervensi dapat dikembangkan.
Sumber daya yang tersedia di situs web Words Matter mendorong orang dewasa untuk menghindari teriakan, hinaan, atau pemanggilan nama ketika berbicara dengan anak-anak, serta berpikir sebelum berbicara dan meluangkan waktu untuk memperbaiki hubungan dengan anak setelah sesuatu yang menyakitkan diucapkan.
Demikian pula, aturan pertama dalam berteriak adalah menahan diri dari kritik saat melakukannya, kata Elizabeth Gershoff, seorang profesor perkembangan manusia dan ilmu keluarga di Universitas Texas di Austin dan peneliti disiplin orang tua, kepada CNN pada 2019.
(pua/pua)
[Gambas:Video CNN]